Senin, 05 Januari 2015

Noninvasive Ventilation Strategies and Deep Breathing Exercise (Evidancebase)

EVIDANCEBASE
A Trial Comparing Noninvasive Ventilation Strategies in Preterm Infants
&
Peningkatan Fungsi  Ventiasi Oksigenasi Paru Pada Klien Pasca Ventilasi Mekanik Dengan Deep Breathing Exercise

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Asuhan Keperawatan Sistem Respirasi oleh Ns. Lidwina Triastuti. S.Kep M.Kep


Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: F:\Lambang STIKes Baru.jpg

 Disusun Oleh:
                                                 Nama :  Jessica Stela
                                                 NIM   :  30120113012
                                
PROGRAM  STUDI  S1  KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
PADALARANG
2014












A Trial Comparing Noninvasive Ventilation Strategies in Preterm Infants

A.                LATAR BELAKANG
Untuk mengurangi resiko dysplasia bronkopulmonalis pada bayi yang lahir dengan berat badan rendah. Tim medis berusaha meminimalkan penggunaan intubasi endotrakeal oleh pengenalan awal sedikit bentuk invasive dari tekanan aliran udara positif.
B.                 METODE
Penelitian ini menggunakan metode observasi yakni dengan suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.
Subyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 1009 bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1000g atau 1Kg, dan usia kehamilan kurang dari 30 minggu pada satu dari dua bentuk dukungan pernapasan noninvasive Nasal Intermitten Positive Pressure (IPPV) atau Nasal Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).
Pada saat penggunaan pertama dari dukungan noninvasive selama 28 hari kehidupan, hasil utamanya kematian sebelum 36 minggu paska menstruasi atau bertahan hidup dengan dysplasia bronkopulmonalis.
Strategi pengobatan
Definisi luas kami dari Nasal IPPV mencakup teknik yang menggabungkan Nasal CPAP dengan peningkatan intermiten tekanan diterapkan. Kami membandingkan Nasal IPPV dengan Nasal CPAP sebagai alat untuk menghindari intubasi atau sebagai sarana dukungan ventilasi setelah ekstubasi. Berkaca penggunaan saat ini, tidak ada perangkat yang ditentukan; pihak pusat bisa menggunakan peralatan standar yang akan konsisten dengan pengobatan yang diberikan. Sinkronisasi diizinkan tapi tidak diamanatkan, karena tidak tersedia  perangkat Food and Drug Administration (FDA) yang disetujui saat ini. Bayi yang ditetapkan untuk Nasal CPAP tidak diizinkan oleh protokol untuk menerima nasal IPPV; Namun, mereka yang ditetapkan untuk Nasal IPPV dan yang kondisinya stabil selama 7 hari setelah ekstubasi dapat beralih ke hidung CPAP. Penyapihan dari studi pengobatan untuk bantuan pernapasan dengan aliran rendah oksigen cannulae (≤2 liter per menit) atau bernapas udara ambien berada di kebijaksanaan dokter lokal dan bisa terjadi kapan saja setelah pengacakan. Bayi yang kondisinya tidak dapat dipertahankan dengan metode yang ditetapkan dari dukungan pernapasan noninvasif yang kembali diintubasi, dan intervensi awal yang ditugaskan dilanjutkan setelah ekstubasi. Ketaatan terhadap pengobatan dimonitor dan dilaporkan.
C.                HASIL PENELITIAN
Hasil utama
Hasil utama dari kematian atau dysplasia bronkopulmonalis dipastikan pada 98,6% bayi pada kelompok Nasal-IPPV dan 97.0% dalam kelompok Nasal-CPAP. Dua puluh bayi (7 pada kelompok hidung-IPPV dan 13 pada kelompok hidung-CPAP) tidak diperlukan menjalani tes pengurangan oksigen (biasanya karena transfer awal) dan dengan demikian tidak dimasukkan kedalam analisis primer. Tingkat pengamatan kematian atau displasia bronkopulmonalis adalah 38,4% (191 dari 497 bayi) dengan Nasal IPPV, dibandingkan dengan 36,7% (180 dari 490) dengan Nasal CPAP
Hasil sekunder
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok pada masing-masing komponen hasil primer: kematian sebelum usia 36 minggu menstruasi pasca atau selamat dalam keadaan displasia bronkopulmonaliselamat pada 36 minggu. Kelompok tersebut juga tidak berbeda secara signifikan dalam frekuensi hasil akhir sekunder lainnya, termasuk potensi efek samping pengobatan (misalnya, trauma hidung dan necrotizing enterocolitis), atau di waktu untuk menyusui penuh, berat badan pada usia 36 minggu  postmenstrual, dan usia postmenstrual pada penggunaan terakhir dari ventilasi mekanis atau oksigen.

Diskusi
Dalam percobaan besar pragmatis internasional ini, kami membandingkan dua strategi untuk dukungan pernapasan non-invasif yang dimaksudkan untuk menghindar  intubasi trakeal pada bayi premature dengan berat lahir yang sangat rendah. Kami memasukkan penggunaan awal yang bertujuan untuk menghindari intubasi trakea (dalam minggu pertama kehidupan) dan juga dukungan pernapasan setelah ekstubasi. Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara hidung IPPV dan hidung CPAP pada risiko kematian atau bertahan hidup dengan dysplasia bronkopulmonalis secara keseluruhan, juga tidak ada perbedaan yang signifikan menurut strata berat lahir atau status intubasi sebelumnya. Meskipun tingkat keseluruhan pada kematian atau bertahan hidup dengan displasia bronkopulmonalis adalah sama pada kedua kelompok, atas dasar rasio oods sesuai interval yang terpercaya sekitar 95% , hasil kami sesuai dengan khasiat yang berkisar dari pengurangan  21%  peningkatan 35% risiko hasil ini dengan penggunaaan nasal IPPV dibandingkan Nasal CPAP.
Kami juga tidak menemukan perbedaan signifikan dalam tingkat komplikasi neonatal lainnya antara kedua kelompok pengobatan. Temuan ini berbanding terbalik dengan orang-orang dari beberapa penelitian lain, yang menunjukkan peningkatan risiko perforasi usus atau necrotizing enterocolitis32 atau trauma17,18 dengan Nasal IPPV atau peningkatan risiko pneumotoraks dengan CPAP.
Kesimpulannya, pada bayi premature yang berisiko tinggi memenuhi syarat untuk mode dukungan pernapasan noninvasif selama kehidupan di bulan pertama , Nasal IPPV tidak unggul untuk Nasal CPAP sehubungan dengan kelangsungan hidup tanpa dysplasia bronkopulmonais pada usia 36 minggu postmenstrual. Tidak ada hasil klinis penting lainnya yang berbeda secara signifikan antar kelompok.
D.                ANALISIS
Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Selain itu, BPD juga dapat disebabkan oleh robeknya alveoli akibat tekanan, volutrauma, saponifikasi hipokapnea, atelektasis akibat absorpsi, dan terjadinya inflamasi. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent positive – pressure secara berkepanjangan dengan konsentrasi oksigen yang ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen.
Adanya pembentukan membran hyalin, bersatunya alveoli secara progresif dengan atelektasis di sekelilingnya, edema interstitial, penebalan membran basal setempat, metaplasia dan hiperplasia mukosa bronkus dan bronkiolus secara luas. Hal ini terjadi akibat maldistribusi ventilasi yang berat. Ketergantungan akan oksigen selama 1 bulan (secara berselang-seling pada usia kehamilan 36 minggu) merupakan BPD.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.       
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). Wong. Donna L.
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi
Bila O2 dg headbox tidak berhasil, harus segera berikan bantuan Napas diberikan dalam bentuk CPAP (continuous positive airway pressure) atau intermittent mandatory ventilation (IMV). CPAP : bantuan pernapasan dengan cara meningkatkan tekanan pulmoner secara artifisial pada saat fase ekspirasi pada bayi yang bernapas secara spontan . Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) atau Intermittent Mandatory Pressure Ventilation (IMV) : pernapasan bayi diambil alih sepenuh nya oleh mesin ventilator mekanik dan meningkatkan tekanan pulmoner baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi.

Indikasi Ventilasi Tekanan positif
ü    Skor Downes' >8
ü    Episode apnu berat, gasping saat usaha napas
ü    pH <7.25 dan PaCO2 >55-60 mmHg atau meningkat >5-10 mmHg/jam
ü    Berat lahir <1500 gram, umur gestasi <31 minggu ( saat di kamar bersalin )
ü    CPAP gagal : PaO2 <60 mmHg, FIO2=0.6, CPAP=6 cm H2O
ü    pH <7.20 setelah terapi (asidosis metabolik/respiratorik)
ü    Syok

Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam pada kulit.

Komplikasi Pemasangan Nasal CPAP
Pemasangan nasal CPAP pada beberapa kasus dapat mengakibatkan komplikasi. Komplikasi pemasangan CPAP antara lain :
1.                  Cedera pada hidung.
Misalnya erosi pada septal nasi, dan nasal snubbing.
Penggunaan nasal prong atau masker CPAP dapat mengakibatkan erosi pasa septal nasi, sedangkan penggunaan CPAP dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan snubbing hidung.

2.                  Pneumothorak.
Kejadian Pneumothorak dapat terjadi karena proses penyakit dari Respiratory Distress Syndrom ( karena alveolar yang over distensi) , dan angka kejadian tersebut meningkat dengan penggunaan CPAP.

3.                  Impedasi aliran darah paru.
Terjadi karena peningkatan resistensi vaskularisasi paru,dan penurunan cardiac output, yang disebabkan oleh peningkatan tekanan inthorakal karena penggunaan CPAP yang tidak sesuai.

4.                  Distensi abdomen.
Pada kebanyakan neonatus tekanan spingkter oeshiphagus bagian bawah cukup baik untuk dapat menahan distensi abdomen karena tekanan CPAP. Tetapi distensi abdomen dapat terjadi sebagai komplikasi dari pemaangan CPAP. Resiko terjadinya distensi abdomen dapat berkurang dengan pemasangan orogastric tube (OGT)

5.                   Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan ketidaknyamanan bayi, yang dapat menyebabkan agitasi dan kesulitan tidur pada bayi.

            NIPPV adalah cara yang paling bermanfaat dari meningkatkan nCPAP. Kemampuan relatif baru untuk sinkronisasi napas ventilator dengan siklus pernapasan bayi sendiri telah menyebabkan minat baru dalam mode ini dari bantuan ventilasi. Hasil ulasan ini menunjukkan bahwa NIPPV dapat membantu dalam mencapai tujuan ini dengan menurunkan tingkat kegagalan pernafasan setelah ekstubasi. Bayi yang diekstubasi setelah periode intubasi endotrakeal memiliki insiden mengurangi gejala yang mengarah ke reintubation, dalam asidosis pernapasan tertentu dan apnea. Namun, juga jelas bahwa, dalam populasi kecil diteliti, bayi "gagal" nCPAP dapat diselamatkan oleh program NIPPV. Neonatal Intensif care Unit dapat menginterpretasikan hasil ini berbeda. Ketentuan dari NIPPV yang disinkronisasikan membutuhkan ventilator yang mampu memberikan dukungan mode ini. Metode yang kurang mahal dari pengirima nCPAP dan isu-isu masalah alokasi sumber daya mungkin penting di beberapa rumah sakit di mana sinkronisasi NIPPV dapat disediakan untuk bayi yang "mendapatkan" itu. Atau, unit dilengkapi dengan baik dapat memilih "profilaksis" menggunakan NIPPV yang disinkronisasikan untuk menjamin stabilitas bayi mereka.
NIPPV adalah metode yang berguna untuk menambah efek menguntungkan dari nCPAP pada bayi prematur. Penggunaan NIPPV setelah ekstubasi mengurangi kejadian gejala gagal ekstubasi bila dibandingkan dengan nCPAP. Dalam batas-batas dari sejumlah kecil bayi yang diacak  untuk NIPPV ada ketidakadaan yang menenangkan dari efek samping gastrointestinal yang dilaporkan dalam seri kasus sebelumnya.

E.                 KESIMPULAN
1.                  Kesimpulan Penelitian
Pada bayi yang lahir dengan berat badan sangat rendah, dysplasia bronkopulmonalis tetap menjadi penyebab utama dari kematian dini, predictor kuat dari gangguan neurologis, alasan utama untuk penggunaan sumber daya dan perawatan di Rumah Sakit selama tahun pertama kehidupan. Perbaikan dalam tingkat kelangsungan hidup antara bayi tersebut telah menyebabkan tingkat dysplasia brokopulmonalis hingga 60% pada umur kehamilan terendah. Intubasi trakea dan ventilasi mekanik berhubungan dengan cedera paru yang diinduksi ventilator dan radang saluran napas yang mengarah ke dysplasia bronkopulmonalis. Intubasi yang berlangsung lama dan ventilasi mekanik pada bayi yang lahir dengan berat badan rendah dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian atau bertahan hidup dengan gangguan neurologis. Kafein mengurangi resiko dysplasia paru bronkopulmonalis, mungkin dengan mengurangi durasi intubasi. Karena resiko ini, tim medis berusaha untuk menghindari intubasi dan dukungan pernapasan pada bayi dengan berat lahir rendah. CPAP dan IPPV adalah sebuah alternative untuk intubasi dan. Sebuah meta analisis dari uji nasal CPAP awal dibandingkan intubasi dan ventilasi menunjukan bahwa Nasal CPAP mengurangi resiko diaplasia bronkopulmonalis. Meskipun demikian, penggunaan Nasal CPAP di ruang bersalin mungkin gagal pada bayi yang lahir dengan berat badan sangat rendah , dengan 34-83% dari bayi tersebut membutuhkan intubasi selanjutnya. Berikutnya, dukungan postextubation dengan Nasal CPAP pada bayi ini dikaitkan dengan tingkat kegagalan 40% pada 1 minggu.
Nasal IPPV memberikan dampak baik ke faring. Ketika ventilator berputar disinkronisasi dengan inspirasi spontan bayi sendiri, hidung IPPV meningkatkan volume tidal dan mengurangi ketidaksinkronan thorakoabdominal.  Hanya percobaan acak kecil yang telah membandingkan Nasal CPAP dengan Nasal IPPV. Empat meta-analisis berbeda dari 10 percobaan yang menyimpulkan dan mencapai kesimpulan yang tidak konsisten mengenai pertanyaan apakah hidung IPPV mengurangi risiko displasia bronkopulmonalis. Meskipun bukti bertentangan, Nasal IPPV umumnya digunakan pada bayi yang lahir dengan berat badan sangat rendah di beberapa negara. Untuk merekomendasikan Nasal IPPV atas standar  perawatan, Nasal CPAP, keunggulan percobaan yang lebih besar diperlukan.
Kami melakukan multinasional, percobaan secara acak ini terwujud  untuk menguji hipotesis bahwa hidung IPPV akan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup tanpa dysplasia bronkopulmonalis pada usia 36 minggu  pasca menstruasi ,dibandingkan dengan CPAP hidung, sebagai metode bantuan pernapasan noninvasif di bayi yang lahir dengan berat badan sangat rendah.
2.      Kesimpulan Teori
Dari beberapa ahli mengemukakan diatas tadi, dapat ditarik kesimpulan dan memperkuat hasil penelitian diatas bahwa Nasal Intermitten Positive Pressure Ventilation  (nIPPV) lebih unggul dibanding dengan Nasal Contonous Positive Airway Pressure (nCPAP) karena penggunaan NIPPV setelah ekstubasi mengurangi kejadian gejala gagal ekstubasi bila dibandingkan dengan nCPAP dan menunjukkan bahwa NIPPV dapat membantu menurunkan tingkat kegagalan pernafasan setelah ekstubasi.dilihat dari komplikasi yang ada pun terlihat bahwa efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan Nasal CPAP sedikit lebih buruk. Dengan nIPPV, pernapasan bayi diambil alih sepenuh nya oleh mesin ventilator mekanik dan meningkatkan tekanan pulmoner baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi.
Peningkatan Fungsi  Ventiasi Oksigenasi Paru Pada Klien Pasca Ventilasi Mekanik Dengan Deep Breathing Exercise

A.                LATAR BELAKANG
            Kegagalan pernapasan merupakan indikasi yang paling umum untuk dirawat di unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit. Kegagalan pernapasan merupakan kondisi ketidakmampuan paru menjaga keseimbangan atau homeostasis O2 dan CO2 di dalam tubuh. Menurut Ignatavicius dan Workman (2006), kegagalan pernapasan lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan ventilasi dan atau kegagalan oksigenasi karena berbagai faktor penyebab.
Pemberian bantuan pernapasan dengan pemasangan ventilasi mekanik dapat membantu ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenasi dan mencegah kerusakan paru. Menurut Smeltzer, et al. (2008) bantuan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen, mengurangi kerja pernapasan, dan meningkatkan oksigenasi ke jaringan atau mengoreksi asidosis pernapasan.

B.                 METODE
Penelitian kuasi eksperimen dengan pendekatan non equivalentcontrol group ini menggunakan kelompok intervensi dan control. Kedua kelompok memperoleh perawatan dan tindakan medis sesuai prosedur RS. Intervensi dalam penelitian ini adalah penggunaan DBE modifikasi dari Westerdahl, et al (2005), Ignatavicius dan Workman (2006), dan Anne, Pippin, dan Hill (2009). DBE meliputi 30kali latihan nafas dalam selama 30 menit dengan diselingi istirahat 30 menit, sebanyak 6 kali sehari pada siang hari selama lima hari.

Penelitian in dilaksanakan selama delapan bulan di ICU beberapa Rumah Sakit di Semarang. Sampel penelitian menggunakan jumlah minimal penghitungan rumus uji beda dua proporsi yaitu sebanyak 26 responden (masing-masing kelompok 13 orang) dengan teknik consecutive sampling.  Penentuan kelompok dengan systematic random sampling.

Criteria inklusi responden: usia dewasa, post ventilasi mekanik paska ekstubasi 1 jam, ada riwayat kegagalan pernapasan, dapat bernafas spontan, bersedia menjadi responden dan mengerti instruksi. Criteria eksklusi meliputi : keadaan umum sangat lemah/bedrest total; ada nyeri berat; mendapat terapi obat depresan susunan syaraf pusat; ada trakeostomi; ada riwayat pembedahan dan ada riwayat ventilasi mekanik program maintenance.

Fungsi ventilasi oksigen (VO) paru diidentifikasi melalui pola pernapasan, kapasitas vital paru dan saturasi oksigen. Instrument penelitian menggunakan bed side monitor, peak  flow meter, dan pulse oximetry.

Analisis data menggunakan uji. Wilcoxon dan Mann-Whitney untuk mengidentifikasi ada tidaknya perbedaan fungsi ventilasi oksigenasi paru. Spearman correlation dan exact test untuk mengidentifikasi factor perancu.

C.                HASIL PENELITIAN

1.                  Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru.
Ada peningkatan rerata fungsi ventilasi oksigenasi (VO) paru pada hari ke-2,3,4, dan 5 pada kedua kelompok dengan peningkatan kelompok intervensi lebih tinggi. Pada kelompok intervensi mulai hari ke-3 fungsi ventilasi oksigenasi (VO) paru baik (mean ≥ 9,15),  sedangkan pada kelompok control sampai hari ke-5 fungsi ventilasi oksigenasi (VO) paru kurang baik (mean < 9).
Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO paru antara 1 (satu) jam paska ekstubasi dengan hari ke-3,4, dan setelah intervensi (p=0,007; p=0,002; p=0,005, α=0,05)
Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO paru antara 1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-2,3,4 dan 5 pada control (p=0,020; p=0,023; p=0,009; p=0,035, α=0,05). Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO paru hari ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi dibandingkan control (p=o,o18; p=0,004, α=0,05), tetapi tidak ada perbedaan bermakna hari ke-2 dan 3 (p=0,691; p=0,063, α=0,05).

2.                  Kapasitas Vital Paru
Terdapat perbedaan bermakna antara kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi dibandingkan control tetapi ternyata nilai kapasitas vital paru kedua kelompok tidak dapat mencapai nilai normal yaitu ≥ 400mL/min.

3.                  Saturasi O2 (SaO2)
Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara SaO2 pada hari ke-2,3,4 dan 5 pada kedua kelompok (p=0,915; 0,068; 0,0670; 0,100, α=0,05). Mulai 1 jam paska ekstubasi sampai hari ke-5 pada kedua kelompok, SaO2 telah mencapai nilai normal (>97%)

4.                  Factor Perancu
Tidak ditemukan pengaruh usia, IMT, kadar Hb dan jenis kelamin dengan fungsi VO paru (p=0,1; p=0,147; p=0,151; p=0,136; p=0,131 p=0,0982; p=0,614;1,000, α=0,05).
DBE merupakan salah satu bentuk latihan pernapasan yang diakukan dengan berbagai modifikasi sesuai dengan kebutuhan. DBE belum banyak dikembangkan dalam pelayanan keperawatan intensif, khususnya bagi klien post ventilasi mekanik. Klien post ventilasi mekanik membutuhkan kemampuan adaptasi terhadap kemampuan ventilasi untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan O2 jaringan. Kemampuan ventilasi didukung oleh compliance paru dan kekuatan otot inspirator yang adekuat melalui DBE. Klien paska ventilasi mekanik perlu menerapkan latihan khusus tersebut sesuai kemampuan toleransi fisik yang masih lemah.
Beberapa tindakan yang telah diberikan seperti suctioning, oksigenasi nasal kanula, alih baring, pemenuhan kebutuhan dasar lainnya seperti cairan elektrolit,nutrisi, eliminasi, dan personal hygiene yang dilakukan oleh perawat selama ini mnenjadi bagian dalam pelayanan asuhan keperawatan. Hal ini sejalan dengan Ignatavicius dan Workman (2006), menerangkan bahwa pengawasan selama perawatan paska ekstubasi juga perlu terus dilakukan untuk mencegah kejadian gagal pernapasan berulang dan komplikaso lain yang lebih kompleks.
Hal tersebut membuktikan bahwa DBE memberikan efek positif dengan melengkapi prosedur perawatan yang telah diterapkan selama ini. Pencapaian tersebut akibat dari adanya peningkatan kemampuan otot-otot inspirator karena DBE merupakan kegiatan untuk melatih otot-otot inspirasi pernapasan. Padula dan Yeaw (2006) menyebutkan bahwa latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan otot inspirator dalam berbagai kondisi yang minimal termasuk pada post ventilasi mekanik.
Roussos dan Zakynthinos (1996 dalam Padula & Yeaw, 2006 ) menyebutkan bahwa kondisi yang membutuhkan kekuatan pernapasan yaitu pada kelemahan, kelelahan, istirahatnya otot inspirator yang terlalu lama. Penelitian eksperimen Weiner (padula & Yeaw 2006) menunjukan bahwa inspirator muscle training berdampak signifikan terhadap penurunan keluhan sesak napas, peningkatan FVC dan mengurangi berbagai gejala gangguan paru.
Sperlich, et al. (2009) juga menyatakan bahwa latihan pernapasan dapat meningkatkan penampilan fisik seseorang yang terbebas dari kondisi kelemahan dan kelelahan. DBE merupakan salah satu latihan pernapasan yang terbukti dapat meningkatkan kemampuan kekuatan otot inspirator, seperti yang telah dikembangkan dalam El Batanouny, et al. (2009) dan Nusdwinuringtyas (2008).
Di rumah sakit tempat penelitian, peran monitoring melalui bed side monitor dan pulse oximetri telah diterapkan dengan baik sesuai prosedur, sedangkan pemeriksaan terhadap kapasitas vital paru jarang dilakukan. Screening  terhadap volume dan kapasitas vital paru penting dilakukan setelah ekstubasi (Westerdahl, et al.,2005)
Penelitian ini menemukan perbedaan yang bermakna antara fungsi VO paru hari ke-4 dan 5 pada kedua kelompok yang menunjukan DBE dapat mempercepat perbaikan fungsi VO paru. DBE dapat mempercepat perbaikan fungsi VO paru. DBE dapat dianggap sebagai terapi modalitas keperawatan pada konteks perawatan intensif serta menjadi kajian terbaru dalam peranan nyata dan mandiri perawat yang mengedepankan pelayanan keperawatan professional. Monitor pola pernapasan termasuk keluhan sesak napas merupakan tugas perawat dalam rangka evaluasi pencapaian perbaikan kondisi klien selama perawatan (ignatavicius & Workman, 2006)
Menurut Westerdahl, et al (2005), bahwa perbaikan frekuensi dan keteraturan pernapasan merupakan indicator peningkatan fungsi ventilasi. DBE akan mengurangi reaksi simpatik guna memperbaiki pola pernapasan dan mengurangi kontraksi otot inspirasi dan ekspirasi (Yadav ,Singh, & Singh, 2009).
DBE sangat efektif untuk memperbaiki pola pernapasan pada hari ke-4 dan ke-5. Latihan menghirup dan menghembuskan udara secara perlahan dan dalam yang dilakukan secara terus-menerus merupakan kegiatan yang terpola antara control di pusat pernapasan dengan kombinasi kemampuan kinerja otot pernapasan, compliance paru dan struktur rangka dada yang dapat menghasilkan adaptasi terhadap ritme dan kecepatan pernapasan.
Kelemahan otot pernapasan post ventiasi mekanik menyebabkan ketidakmampuan melakukan inspirasi secara optimal, sehingga pemenuhan kebutuhan oksigen menurun. Kesenjangan suplai dan kebutuhan oksigen dapat diatasi dengan melatih otot inspirator melalui DBE.
Menurut Price dan Wilson (2006), bahwa otot pernapasan dikendalikan oleh pusat pernapasan sebagai pusat aspek pernapasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Perbaikan yang ditimbulkan karena adanya keterhubungan otot pernapasan dan desentisasi dispnea.
Menurut Smeltzer, et al. (2008), yang menyatakan bahwa pola pernapasan tertentu menjadi karakteristik dari keadaan penyakit spesifik, mengamati dan mendokumentasikan irama pernapasan dan penyimpangan dari keadaan normal merupakan fungsi keperawatan yang penting.
Ditemukannya perbedaan bermakna pada kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan ke-5 menunjukan bahwa DBE dapat membantu paru melakukan adaptasi paska ekstubasi. Latihan menghirup dan menghembuaskan udara membantu mengembangkan lingkar dada dan melatih otot pernapasan sehingga dapat meningkatkan volume dan kapasitas vital.
Pada kegagalan pernapasan terjadi cedera pada membrane alveolar paru yang dapat mengakibatkan kebocoran cairan ke dalam jejaring kapiler hingga mengarah pada ketidakseimbangan ventilasi dan oksigenasi. Compliance paru menjad sangat menurun sehingga terjadi penurunan kapasitas paru, hypoxia dan hipokapnia.
Padula dan Yeaw (2006) dan Nusdwinuringtyas (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa melatih otot inspirator dapat membantu meningkatkan kapasitas vital paru. Latihan pernapasan dapat meningkatkan kapasitas vital paru melalui pengukuran nilai FEV1 dan FVC. Terlatihnya otot inspirator akan meningkatkan kemampuan paru untuk menampung udara, sehingga nilai FEV1 akan mengalami peningkatan.
Mulai 1 jam paska ekstubasi sampai hari ke-5 saturasi oksigen telah mencapai nilai diatas 97%. Hal tersebut berkenaan syarat klien dapat dilakukan weaning dan ekstubasi bila SaO2 cukup adekuat lebih dari 95%. Menurut Guyton dan Hall (2006) dan Price Wilson (2006), yang menjalaskan bahwa proses transportasi oksigen dan oksigenasi jaringan secara langsung dipengaruhi oleh system kardiovaskuler dan hematologi yang didukung status fungsi paru yang memadai.

D.                ANALISIS

Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama. Indikasi klinik penggunaan ventilasi mekanik antara lain adanya kegagalan ventilasi seperti halnya neuromuscular disease, central nervous system disease, depresi system saraf pusat, musculosceletal disease dan ketidakmampuan thoraks untuk ventilasi. Selain itu juga bisa disebabkan karena kegagalan pertukaran gas seperti halnya gagal nafas akut dan kronik, gagal jantung kiri, dan gangguan difusi serta ventilasi pada penyakit paru (Lanken, 2007).
Pengertian Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan.
Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Tujuan Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
Prosedur teknik relaksasi napas dalam menurut Priharjo (2003)
Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi.

Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai berikut :
1.                  Ciptakan lingkungan yang tenang
2.                  Usahakan tetap rileks dan tenang
3.                  Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui  hitungan 1,2,3.
4.                  Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
5.                  Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
6.                  Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan
7.                  Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
8.                  Usahakan agar tetap konsentrasi atau mata sambil terpejam
9.                  Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri
10.              Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
11.              Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
12.              Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernafas secara dangkal dan cepat.
Manfaat Tehnik Relaksasi Nafas Dalam
1.                  Ketentraman hati
2.                  Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah
3.                  Tekanan dan ketegangan jiwa menjadi rendah
4.                  Detak jantung lebih rendah
5.                  Mengurangi tekanan darah
6.                  Ketahanan yang lebih besar terhadap penyakit
7.                  Tidur lelap
8.                  Kesehatan mental menjadi lebih baik
9.                  Daya ingat lebih baik
10.              Meningkatkan daya berpikir logis
11.              Meningkatkan kreativitas
12.              Meningkatkan keyakinan
13.              Meningkatkan daya kemauan
14.              Intuisi
15.              Meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain
Otot ispirator yang terlatih akan meningkatkan compliance paru dan mencegah atelektasis. Westerdahl, et al (2005) menyimpulkan bahwa latihan pernapasan dapat dengan cepat menurunkan area atelektasis dan meningkatkan oksigenasi. Compliance dada yang baik memungkinkan ventilasi oksigenasi adekuat sehingga tidak mudah terjadi atelektasis.
DBE mengurangi reaksi simpatik tetapi tidak mengubah aktifitas parasimpatik secara signifikan untuk meningkatkan fungsi pernapasan, mengurangi stress dan kecemasan (yadav, Singh, & Singh (2009)). Control pernapasan dengan rangsang simpatik dapat memperbaiki ritme dan frekuensi pernapasan tanpa mengganggu peran parasimpatik yang berguna menjaga kelangsungan aktifitas pernapasan secara terus-menerus. Sejalan dengan penelitian Wessterdahl, et al (2005), yang menyebutkan bahwa DBE dapat meningkatkan fungsi ventilasi dengan perbaikan karakteristik frekuensi dan keteraturan pernapasan.
Latihan nafas dalam dapat diterapkan dengan memotivasi pasien untuk latihan napas dimana bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot pernapasan supaya paru dapat mengembang optimal.
Ketergantungan pasien pada ventilator periode jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan yang lebih kompleks dan signifikan. Penggunaan ventilator dalam waktu yang lama ini bisa memberikan efek negatif antara lain mudah terpapar infeksi nosokomial terutama infeksi pulmonary, critical illness myopathy, bisa terjadi trauma airway karena adanya pemakaian trakeostomi dalam waktu yang lama dan kelemahan otot pernapasan. Ketergantungan ventilator erat kaitannya dengan kegagalan “weaning process”. Kegagalan “weaning process” atau penyapihan ventilator sering disebabkan oleh kelemahan otot pernafasan pada pasien. Kelemahan otot pernapasan pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik dalam waktu yang lama dikarenakan sebagian atau keseluruhan fungsi pernapasan termasuk otot pernapasan diambil alih oleh mesin ventilator. Sehingga lama kelamaan otot pernapasan akan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan jika mendekati proses weaning dimana diawali dengan usaha untuk napas spontan maka pasien akan menunjukkan keluhan sesak napas karena compliance paru yang kurang optimal. Kelemahan otot nafas juga disebabkan karena adanya keletihan otot pernapasan yang terus berlanjut dalam melawan beban akibat mengkompensasi compliance paru yang tidak optimal tersebut.

Mengoptimalkan pola napas pasien

Management yang bisa dilakukan dalam mengoptimalkan pola napas pasien antara lain mempertahankan posisi head of bed semi fowler 45º, melatih deep breathing secara bertahap. (Lanken PN,2007)
Membantu pasien untuk “mengontrol” pernapasan jika diperlukan. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam serta pantau gerakan diafragma jika alat pacu frenik telah dipasang. Rasionalnya, bernapas mungkin bukan hanya aktivitas volunter tetapi membutuhkan usaha secara sadar tergantung pada lokasi trauma/yang berhubungan dengan otot-otot pernapasan dan stimulasi pada saraf  frenikus meningkatan usaha pernapasan, mengurangi ketergantungan pada ventilator mekanik. (Doenges,Marilynn E, et al).
Dan menurut Alice C. Geissler bahwa dengan menginstrusikan dan membantu dalam latihan nafas dalam dan batuk dapat meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi/oksigenasi.

E.                 KESIMPULAN

1.                  Kesimpulan Penelitian.
Penelitian ini menemukan pengaruh positif DBE terhadap fungsi Vo paru hari ke-2,3,4,dan 5. Ada perbedaan yang bermakna pada fungsi VO paru, pola pernapasan dan kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan ke-5 antara kelompok intervensi dan control tetapi tidak ada perbedaan untuk saturasi oksigen pada hari-2,3,4,dan 5.

2.                  Kesimpulan Teori.
Dari sekian teori seperti dari Lanken, Marilyinn dan E Doenges, Smeltzer & Bare, 2002, Priharjo (2003), Westerdahl, et al (2005), yadav, Singh, & Singh (2009) bahwa hasilnya bisa dianggap dapat memperkuat hasil penelitian ini yang merumuskan bahwa dengan latihan teknik napas dalam (Deep Breathing Exercise)  mampu secara signifikan meningkatkan fungsi ventilasi oksigenasi pada pasien paska ventilasi mekanik. Sebagaimana telah dijelaskan secara rinci diatas tadi bahwa dengan melakukan latihan nafas dalam mampu membantu otot pernapasan dan stimulasi saraf frenikus untuk meningkatkan usaha napas dan juga meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi/oksigenasi.



DAFTAR PUSTAKA

Barrington KJ, Finer NN, Bull D. Randomised controlled trial of nasal synchronized intermittent mandatory ventilation compared with continuous positive airway pressure after extubation of very low birth weight infants. Pediatrics 2001;107:638-41.
Brunner, L dan Suddarth, D. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah(H.Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan). (Ed.8) Vol 1 Jakarta : EGC.

Caecily Lynn, Buku Saku Keperawatan pediatr, edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E, dkk, 2000,Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3), Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

Lanken PN. Mechanical ventilation. 2007. In: Lanken PN, ed. The Intensive Care Unit Manual. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Inc, 13-30.
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders Elsevier : St. Louis Missouri

Muscari, Mary E, Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik, edisi 3, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
PK, Rajiv, CPAP (Continous Positive Airway Pressure) Bedside Application in the Newborn, 2nd Edition, JAYPEE BROTHERS Medical Publishers (P) Ltd: Columbia university, USA
Priharjo, R (2003). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh AgungWaluyo...(dkk), EGC, Jakarta.

Westerdahl, E, Linmark, B,Ericksson, T, Friberg, O,Hedenstierna, G & Tenling, A.2005. Deep breathing exercises reduce atelectasis and improve

Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar