EVIDANCEBASE
A Trial Comparing Noninvasive Ventilation Strategies
in Preterm Infants
&
Peningkatan
Fungsi Ventiasi Oksigenasi Paru Pada
Klien Pasca Ventilasi Mekanik Dengan Deep
Breathing Exercise
disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah
Asuhan Keperawatan Sistem Respirasi
oleh Ns. Lidwina Triastuti. S.Kep M.Kep
Disusun Oleh:
Nama : Jessica Stela
NIM : 30120113012
PROGRAM STUDI
S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
PADALARANG
2014
A Trial Comparing Noninvasive Ventilation Strategies
in Preterm Infants
A.
LATAR BELAKANG
Untuk mengurangi resiko dysplasia bronkopulmonalis
pada bayi yang lahir dengan berat badan rendah. Tim medis berusaha meminimalkan
penggunaan intubasi endotrakeal oleh pengenalan awal sedikit bentuk invasive
dari tekanan aliran udara positif.
B.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode observasi yakni
dengan suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung
terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan
secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.
Subyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 1009 bayi dengan berat badan lahir
kurang dari 1000g atau 1Kg, dan usia kehamilan kurang dari 30 minggu pada satu
dari dua bentuk dukungan pernapasan noninvasive Nasal Intermitten Positive
Pressure (IPPV) atau Nasal Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).
Pada saat penggunaan pertama dari dukungan
noninvasive selama 28 hari kehidupan, hasil utamanya kematian sebelum 36 minggu
paska menstruasi atau bertahan hidup dengan dysplasia bronkopulmonalis.
Strategi pengobatan
Definisi luas kami dari Nasal IPPV mencakup teknik
yang menggabungkan Nasal CPAP dengan peningkatan intermiten tekanan diterapkan.
Kami membandingkan Nasal IPPV dengan Nasal CPAP sebagai alat untuk menghindari
intubasi atau sebagai sarana dukungan ventilasi setelah ekstubasi. Berkaca
penggunaan saat ini, tidak ada perangkat yang ditentukan; pihak pusat bisa
menggunakan peralatan standar yang akan konsisten dengan pengobatan yang
diberikan. Sinkronisasi diizinkan tapi tidak diamanatkan, karena tidak tersedia
perangkat Food and Drug Administration
(FDA) yang disetujui saat ini. Bayi yang ditetapkan untuk Nasal CPAP tidak
diizinkan oleh protokol untuk menerima nasal IPPV; Namun, mereka yang
ditetapkan untuk Nasal IPPV dan yang kondisinya stabil selama 7 hari setelah
ekstubasi dapat beralih ke hidung CPAP. Penyapihan dari studi pengobatan untuk
bantuan pernapasan dengan aliran rendah oksigen cannulae (≤2 liter per menit)
atau bernapas udara ambien berada di kebijaksanaan dokter lokal dan bisa
terjadi kapan saja setelah pengacakan. Bayi yang kondisinya tidak dapat
dipertahankan dengan metode yang ditetapkan dari dukungan pernapasan noninvasif
yang kembali diintubasi, dan intervensi awal yang ditugaskan dilanjutkan
setelah ekstubasi. Ketaatan terhadap pengobatan dimonitor dan dilaporkan.
C.
HASIL
PENELITIAN
Hasil
utama
Hasil utama dari kematian atau dysplasia
bronkopulmonalis dipastikan pada 98,6% bayi pada kelompok Nasal-IPPV dan 97.0% dalam
kelompok Nasal-CPAP. Dua puluh bayi (7 pada kelompok hidung-IPPV dan 13 pada
kelompok hidung-CPAP) tidak diperlukan menjalani tes pengurangan oksigen
(biasanya karena transfer awal) dan dengan demikian tidak dimasukkan kedalam
analisis primer. Tingkat pengamatan kematian atau displasia bronkopulmonalis
adalah 38,4% (191 dari 497 bayi) dengan Nasal IPPV, dibandingkan dengan 36,7%
(180 dari 490) dengan Nasal CPAP
Hasil
sekunder
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok
pada masing-masing komponen hasil primer: kematian sebelum usia 36 minggu
menstruasi pasca atau selamat dalam keadaan displasia bronkopulmonaliselamat
pada 36 minggu. Kelompok tersebut juga tidak berbeda secara signifikan dalam
frekuensi hasil akhir sekunder lainnya, termasuk potensi efek samping
pengobatan (misalnya, trauma hidung dan necrotizing enterocolitis), atau di
waktu untuk menyusui penuh, berat badan pada usia 36 minggu postmenstrual, dan usia postmenstrual pada
penggunaan terakhir dari ventilasi mekanis atau oksigen.
Diskusi
Dalam percobaan besar pragmatis internasional ini,
kami membandingkan dua strategi untuk dukungan pernapasan non-invasif yang
dimaksudkan untuk menghindar intubasi
trakeal pada bayi premature dengan berat lahir yang sangat rendah. Kami
memasukkan penggunaan awal yang bertujuan untuk menghindari intubasi trakea
(dalam minggu pertama kehidupan) dan juga dukungan pernapasan setelah
ekstubasi. Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara hidung IPPV
dan hidung CPAP pada risiko kematian atau bertahan hidup dengan dysplasia
bronkopulmonalis secara keseluruhan, juga tidak ada perbedaan yang signifikan
menurut strata berat lahir atau status intubasi sebelumnya. Meskipun tingkat
keseluruhan pada kematian atau bertahan hidup dengan displasia bronkopulmonalis
adalah sama pada kedua kelompok, atas dasar rasio oods sesuai interval yang
terpercaya sekitar 95% , hasil kami sesuai dengan khasiat yang berkisar dari
pengurangan 21% peningkatan 35% risiko hasil ini dengan
penggunaaan nasal IPPV dibandingkan Nasal CPAP.
Kami juga tidak menemukan perbedaan signifikan dalam
tingkat komplikasi neonatal lainnya antara kedua kelompok pengobatan. Temuan
ini berbanding terbalik dengan orang-orang dari beberapa penelitian lain, yang
menunjukkan peningkatan risiko perforasi usus atau necrotizing enterocolitis32
atau trauma17,18 dengan Nasal IPPV atau peningkatan risiko pneumotoraks dengan
CPAP.
Kesimpulannya, pada bayi premature yang berisiko tinggi
memenuhi syarat untuk mode dukungan pernapasan noninvasif selama kehidupan di
bulan pertama , Nasal IPPV tidak unggul untuk Nasal CPAP sehubungan dengan
kelangsungan hidup tanpa dysplasia bronkopulmonais pada usia 36 minggu
postmenstrual. Tidak ada hasil klinis penting lainnya yang berbeda secara
signifikan antar kelompok.
D.
ANALISIS
Oksigen bersifat toksik
bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan respirator tekanan positif,
menyebabkan terjadinya BPD. Selain itu, BPD juga dapat disebabkan oleh robeknya
alveoli akibat tekanan, volutrauma, saponifikasi hipokapnea, atelektasis akibat
absorpsi, dan terjadinya inflamasi. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas
berupa intermittent positive – pressure secara berkepanjangan dengan
konsentrasi oksigen yang ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada
gambaran rontgen.
Adanya pembentukan membran hyalin, bersatunya alveoli secara progresif dengan atelektasis di sekelilingnya, edema interstitial, penebalan membran basal setempat, metaplasia dan hiperplasia mukosa bronkus dan bronkiolus secara luas. Hal ini terjadi akibat maldistribusi ventilasi yang berat. Ketergantungan akan oksigen selama 1 bulan (secara berselang-seling pada usia kehamilan 36 minggu) merupakan BPD.
Adanya pembentukan membran hyalin, bersatunya alveoli secara progresif dengan atelektasis di sekelilingnya, edema interstitial, penebalan membran basal setempat, metaplasia dan hiperplasia mukosa bronkus dan bronkiolus secara luas. Hal ini terjadi akibat maldistribusi ventilasi yang berat. Ketergantungan akan oksigen selama 1 bulan (secara berselang-seling pada usia kehamilan 36 minggu) merupakan BPD.
Faktor-faktor
yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih
kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan
surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku.
Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan
paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting
intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan
asidosis respiratorik.
Telah
diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar
alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi
udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan
tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya
atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema
interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari
epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli
menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan
adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel
jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin
yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam
satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai
dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek;
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD). Wong. Donna L.
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit
paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada
waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi
vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi
Bila O2 dg
headbox tidak berhasil, harus segera berikan bantuan Napas diberikan dalam
bentuk CPAP (continuous positive airway pressure) atau intermittent mandatory
ventilation (IMV). CPAP : bantuan pernapasan dengan cara meningkatkan tekanan
pulmoner secara artifisial pada saat fase ekspirasi pada bayi yang bernapas
secara spontan . Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) atau
Intermittent Mandatory Pressure Ventilation (IMV) : pernapasan bayi diambil
alih sepenuh nya oleh mesin ventilator mekanik dan meningkatkan tekanan
pulmoner baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi.
Indikasi
Ventilasi Tekanan positif
ü Skor Downes' >8
ü Episode apnu berat, gasping saat
usaha napas
ü pH <7.25 dan PaCO2 >55-60 mmHg
atau meningkat >5-10 mmHg/jam
ü Berat lahir <1500 gram, umur
gestasi <31 minggu ( saat di kamar bersalin )
ü CPAP gagal : PaO2 <60 mmHg,
FIO2=0.6, CPAP=6 cm H2O
ü pH <7.20 setelah terapi (asidosis
metabolik/respiratorik)
ü Syok
Efek
samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar
selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam
pada kulit.
Komplikasi Pemasangan Nasal CPAP
Pemasangan
nasal CPAP pada beberapa kasus dapat mengakibatkan komplikasi. Komplikasi
pemasangan CPAP antara lain :
1.
Cedera
pada hidung.
Misalnya
erosi pada septal nasi, dan nasal snubbing.
Penggunaan nasal prong atau masker
CPAP dapat mengakibatkan erosi pasa septal nasi, sedangkan penggunaan CPAP dalam
jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan snubbing hidung.
2.
Pneumothorak.
Kejadian Pneumothorak dapat terjadi karena
proses penyakit dari Respiratory Distress Syndrom ( karena alveolar yang over
distensi) , dan angka kejadian tersebut meningkat dengan penggunaan CPAP.
3.
Impedasi
aliran darah paru.
Terjadi karena peningkatan
resistensi vaskularisasi paru,dan penurunan cardiac output, yang disebabkan
oleh peningkatan tekanan inthorakal karena penggunaan CPAP yang tidak sesuai.
4.
Distensi
abdomen.
Pada kebanyakan neonatus tekanan
spingkter oeshiphagus bagian bawah cukup baik untuk dapat menahan distensi
abdomen karena tekanan CPAP. Tetapi distensi abdomen dapat terjadi sebagai
komplikasi dari pemaangan CPAP. Resiko terjadinya distensi abdomen dapat berkurang
dengan pemasangan orogastric tube (OGT)
5.
Nasal prong atau masker pada CPAP dapat
menyebabkan ketidaknyamanan bayi, yang dapat menyebabkan agitasi dan kesulitan
tidur pada bayi.
NIPPV adalah cara yang paling bermanfaat dari meningkatkan nCPAP. Kemampuan
relatif baru untuk sinkronisasi napas ventilator dengan
siklus pernapasan bayi sendiri telah
menyebabkan minat baru dalam mode
ini dari bantuan ventilasi. Hasil ulasan ini menunjukkan bahwa NIPPV dapat membantu dalam
mencapai tujuan ini dengan
menurunkan tingkat kegagalan
pernafasan setelah ekstubasi.
Bayi yang diekstubasi
setelah periode intubasi endotrakeal memiliki insiden mengurangi gejala yang
mengarah ke reintubation, dalam
asidosis pernapasan tertentu
dan apnea. Namun, juga jelas bahwa, dalam populasi kecil diteliti, bayi
"gagal" nCPAP dapat diselamatkan oleh
program NIPPV. Neonatal
Intensif care Unit dapat menginterpretasikan
hasil ini berbeda. Ketentuan
dari NIPPV yang disinkronisasikan membutuhkan ventilator yang
mampu memberikan dukungan mode ini. Metode yang kurang mahal
dari pengirima nCPAP dan isu-isu masalah alokasi sumber daya mungkin
penting di beberapa rumah sakit di
mana sinkronisasi NIPPV dapat disediakan
untuk bayi yang "mendapatkan"
itu. Atau, unit
dilengkapi dengan baik dapat memilih
"profilaksis" menggunakan NIPPV
yang disinkronisasikan untuk menjamin stabilitas bayi mereka.
NIPPV adalah metode yang berguna untuk menambah
efek menguntungkan dari nCPAP pada bayi prematur. Penggunaan NIPPV setelah ekstubasi
mengurangi kejadian gejala gagal ekstubasi bila dibandingkan dengan nCPAP. Dalam
batas-batas dari sejumlah kecil bayi yang diacak untuk NIPPV ada ketidakadaan yang menenangkan dari
efek samping
gastrointestinal yang dilaporkan dalam seri kasus
sebelumnya.
E.
KESIMPULAN
1.
Kesimpulan Penelitian
Pada bayi yang lahir dengan berat badan sangat
rendah, dysplasia bronkopulmonalis tetap menjadi penyebab utama dari kematian
dini, predictor kuat dari gangguan neurologis, alasan utama untuk penggunaan
sumber daya dan perawatan di Rumah Sakit selama tahun pertama kehidupan.
Perbaikan dalam tingkat kelangsungan hidup antara bayi tersebut telah
menyebabkan tingkat dysplasia brokopulmonalis hingga 60% pada umur kehamilan
terendah. Intubasi trakea dan ventilasi mekanik berhubungan dengan cedera paru
yang diinduksi ventilator dan radang saluran napas yang mengarah ke dysplasia
bronkopulmonalis. Intubasi yang berlangsung lama dan ventilasi mekanik pada
bayi yang lahir dengan berat badan rendah dikaitkan dengan peningkatan resiko
kematian atau bertahan hidup dengan gangguan neurologis. Kafein mengurangi
resiko dysplasia paru bronkopulmonalis, mungkin dengan mengurangi durasi
intubasi. Karena resiko ini, tim medis berusaha untuk menghindari intubasi dan
dukungan pernapasan pada bayi dengan berat lahir rendah. CPAP dan IPPV adalah
sebuah alternative untuk intubasi dan. Sebuah meta analisis dari uji nasal CPAP
awal dibandingkan intubasi dan ventilasi menunjukan bahwa Nasal CPAP mengurangi
resiko diaplasia bronkopulmonalis. Meskipun demikian, penggunaan Nasal CPAP di
ruang bersalin mungkin gagal pada bayi yang lahir dengan berat badan sangat
rendah , dengan 34-83% dari bayi tersebut membutuhkan intubasi selanjutnya.
Berikutnya, dukungan postextubation dengan Nasal CPAP pada bayi ini dikaitkan
dengan tingkat kegagalan 40% pada 1 minggu.
Nasal IPPV memberikan dampak baik ke faring. Ketika
ventilator berputar disinkronisasi dengan inspirasi spontan bayi sendiri,
hidung IPPV meningkatkan volume tidal dan mengurangi ketidaksinkronan
thorakoabdominal. Hanya percobaan acak
kecil yang telah membandingkan Nasal CPAP dengan Nasal IPPV. Empat
meta-analisis berbeda dari 10 percobaan yang menyimpulkan dan mencapai
kesimpulan yang tidak konsisten mengenai pertanyaan apakah hidung IPPV
mengurangi risiko displasia bronkopulmonalis. Meskipun bukti bertentangan,
Nasal IPPV umumnya digunakan pada bayi yang lahir dengan berat badan sangat
rendah di beberapa negara. Untuk merekomendasikan Nasal IPPV atas standar perawatan, Nasal CPAP, keunggulan percobaan
yang lebih besar diperlukan.
Kami melakukan multinasional, percobaan secara acak
ini terwujud untuk menguji hipotesis
bahwa hidung IPPV akan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup tanpa dysplasia
bronkopulmonalis pada usia 36 minggu
pasca menstruasi ,dibandingkan dengan CPAP hidung, sebagai metode
bantuan pernapasan noninvasif di bayi yang lahir dengan berat badan sangat
rendah.
2.
Kesimpulan Teori
Dari
beberapa ahli mengemukakan diatas tadi, dapat ditarik kesimpulan dan memperkuat
hasil penelitian diatas bahwa Nasal Intermitten Positive Pressure
Ventilation (nIPPV) lebih unggul
dibanding dengan Nasal Contonous Positive Airway Pressure (nCPAP) karena penggunaan NIPPV
setelah ekstubasi mengurangi kejadian gejala gagal ekstubasi bila dibandingkan
dengan nCPAP dan menunjukkan bahwa NIPPV dapat
membantu menurunkan tingkat kegagalan
pernafasan setelah ekstubasi.dilihat
dari komplikasi yang ada pun terlihat bahwa efek samping yang ditimbulkan dari
penggunaan Nasal CPAP sedikit lebih buruk. Dengan nIPPV, pernapasan bayi
diambil alih sepenuh nya oleh mesin ventilator mekanik dan meningkatkan tekanan
pulmoner baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi.
Peningkatan Fungsi
Ventiasi Oksigenasi Paru Pada Klien Pasca Ventilasi Mekanik Dengan Deep Breathing Exercise
A.
LATAR
BELAKANG
Kegagalan
pernapasan merupakan indikasi yang paling umum untuk dirawat di unit perawatan
intensif (ICU) rumah sakit. Kegagalan pernapasan merupakan kondisi
ketidakmampuan paru menjaga keseimbangan atau homeostasis O2 dan CO2
di dalam tubuh. Menurut Ignatavicius dan Workman (2006), kegagalan pernapasan
lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan ventilasi dan atau kegagalan
oksigenasi karena berbagai faktor penyebab.
Pemberian bantuan pernapasan dengan pemasangan
ventilasi mekanik dapat membantu ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenasi
dan mencegah kerusakan paru. Menurut Smeltzer, et al. (2008) bantuan tersebut
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen, mengurangi kerja pernapasan, dan
meningkatkan oksigenasi ke jaringan atau mengoreksi asidosis pernapasan.
B.
METODE
Penelitian kuasi eksperimen dengan pendekatan non
equivalentcontrol group ini menggunakan kelompok intervensi dan control. Kedua
kelompok memperoleh perawatan dan tindakan medis sesuai prosedur RS. Intervensi
dalam penelitian ini adalah penggunaan DBE modifikasi dari Westerdahl, et al
(2005), Ignatavicius dan Workman (2006), dan Anne, Pippin, dan Hill (2009). DBE
meliputi 30kali latihan nafas dalam selama 30 menit dengan diselingi istirahat
30 menit, sebanyak 6 kali sehari pada siang hari selama lima hari.
Penelitian in dilaksanakan selama delapan bulan di
ICU beberapa Rumah Sakit di Semarang. Sampel penelitian menggunakan jumlah
minimal penghitungan rumus uji beda dua proporsi yaitu sebanyak 26 responden
(masing-masing kelompok 13 orang) dengan teknik consecutive sampling. Penentuan kelompok dengan systematic random sampling.
Criteria inklusi responden: usia dewasa, post
ventilasi mekanik paska ekstubasi 1 jam, ada riwayat kegagalan pernapasan,
dapat bernafas spontan, bersedia menjadi responden dan mengerti instruksi.
Criteria eksklusi meliputi : keadaan umum sangat lemah/bedrest total; ada nyeri berat; mendapat terapi obat depresan
susunan syaraf pusat; ada trakeostomi; ada riwayat pembedahan dan ada riwayat
ventilasi mekanik program maintenance.
Fungsi ventilasi oksigen (VO) paru diidentifikasi
melalui pola pernapasan, kapasitas vital paru dan saturasi oksigen. Instrument
penelitian menggunakan bed side monitor,
peak flow meter, dan pulse oximetry.
Analisis data menggunakan uji. Wilcoxon dan Mann-Whitney untuk mengidentifikasi ada
tidaknya perbedaan fungsi ventilasi oksigenasi paru. Spearman correlation dan exact
test untuk mengidentifikasi factor perancu.
C.
HASIL
PENELITIAN
1.
Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru.
Ada peningkatan rerata fungsi ventilasi oksigenasi
(VO) paru pada hari ke-2,3,4, dan 5 pada kedua kelompok dengan peningkatan
kelompok intervensi lebih tinggi. Pada kelompok intervensi mulai hari ke-3
fungsi ventilasi oksigenasi (VO) paru baik (mean ≥ 9,15), sedangkan pada kelompok control sampai hari
ke-5 fungsi ventilasi oksigenasi (VO) paru kurang baik (mean < 9).
Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO paru antara
1 (satu) jam paska ekstubasi dengan hari ke-3,4, dan setelah intervensi
(p=0,007; p=0,002; p=0,005, α=0,05)
Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO paru antara
1 jam paska ekstubasi dengan hari ke-2,3,4 dan 5 pada control (p=0,020; p=0,023;
p=0,009; p=0,035, α=0,05). Ada perbedaan bermakna antara fungsi VO paru hari
ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi dibandingkan control (p=o,o18; p=0,004,
α=0,05), tetapi tidak ada perbedaan bermakna hari ke-2 dan 3 (p=0,691; p=0,063,
α=0,05).
2.
Kapasitas Vital Paru
Terdapat perbedaan bermakna antara kapasitas vital
paru pada hari ke-4 dan 5 pada kelompok intervensi dibandingkan control tetapi
ternyata nilai kapasitas vital paru kedua kelompok tidak dapat mencapai nilai
normal yaitu ≥ 400mL/min.
3.
Saturasi O2 (SaO2)
Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara SaO2
pada hari ke-2,3,4 dan 5 pada kedua kelompok (p=0,915; 0,068; 0,0670; 0,100,
α=0,05). Mulai 1 jam paska ekstubasi sampai hari ke-5 pada kedua kelompok, SaO2
telah mencapai nilai normal (>97%)
4.
Factor Perancu
Tidak ditemukan pengaruh usia, IMT, kadar Hb dan
jenis kelamin dengan fungsi VO paru (p=0,1; p=0,147; p=0,151; p=0,136; p=0,131
p=0,0982; p=0,614;1,000, α=0,05).
DBE merupakan salah satu bentuk latihan pernapasan
yang diakukan dengan berbagai modifikasi sesuai dengan kebutuhan. DBE belum
banyak dikembangkan dalam pelayanan keperawatan intensif, khususnya bagi klien
post ventilasi mekanik. Klien post ventilasi mekanik membutuhkan kemampuan
adaptasi terhadap kemampuan ventilasi untuk memberikan suplai terhadap
kebutuhan O2 jaringan. Kemampuan ventilasi didukung oleh compliance paru dan kekuatan otot
inspirator yang adekuat melalui DBE. Klien paska ventilasi mekanik perlu
menerapkan latihan khusus tersebut sesuai kemampuan toleransi fisik yang masih
lemah.
Beberapa tindakan yang telah diberikan seperti suctioning, oksigenasi nasal kanula,
alih baring, pemenuhan kebutuhan dasar lainnya seperti cairan
elektrolit,nutrisi, eliminasi, dan personal hygiene yang dilakukan oleh perawat
selama ini mnenjadi bagian dalam pelayanan asuhan keperawatan. Hal ini sejalan
dengan Ignatavicius dan Workman (2006), menerangkan bahwa pengawasan selama
perawatan paska ekstubasi juga perlu terus dilakukan untuk mencegah kejadian
gagal pernapasan berulang dan komplikaso lain yang lebih kompleks.
Hal tersebut membuktikan bahwa DBE memberikan efek
positif dengan melengkapi prosedur perawatan yang telah diterapkan selama ini.
Pencapaian tersebut akibat dari adanya peningkatan kemampuan otot-otot
inspirator karena DBE merupakan kegiatan untuk melatih otot-otot inspirasi
pernapasan. Padula dan Yeaw (2006) menyebutkan bahwa latihan tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan otot inspirator dalam berbagai kondisi yang
minimal termasuk pada post ventilasi mekanik.
Roussos dan Zakynthinos (1996 dalam Padula &
Yeaw, 2006 ) menyebutkan bahwa kondisi yang membutuhkan kekuatan pernapasan
yaitu pada kelemahan, kelelahan, istirahatnya otot inspirator yang terlalu
lama. Penelitian eksperimen Weiner (padula & Yeaw 2006) menunjukan bahwa inspirator muscle training berdampak
signifikan terhadap penurunan keluhan sesak napas, peningkatan FVC dan
mengurangi berbagai gejala gangguan paru.
Sperlich, et al. (2009) juga menyatakan bahwa
latihan pernapasan dapat meningkatkan penampilan fisik seseorang yang terbebas
dari kondisi kelemahan dan kelelahan. DBE merupakan salah satu latihan
pernapasan yang terbukti dapat meningkatkan kemampuan kekuatan otot inspirator,
seperti yang telah dikembangkan dalam El Batanouny, et al. (2009) dan
Nusdwinuringtyas (2008).
Di rumah sakit tempat penelitian, peran monitoring
melalui bed side monitor dan pulse oximetri telah diterapkan dengan baik sesuai
prosedur, sedangkan pemeriksaan terhadap kapasitas vital paru jarang dilakukan.
Screening terhadap volume dan kapasitas vital paru
penting dilakukan setelah ekstubasi (Westerdahl, et al.,2005)
Penelitian ini menemukan perbedaan yang bermakna
antara fungsi VO paru hari ke-4 dan 5 pada kedua kelompok yang menunjukan DBE dapat
mempercepat perbaikan fungsi VO paru. DBE dapat mempercepat perbaikan fungsi VO
paru. DBE dapat dianggap sebagai terapi modalitas keperawatan pada konteks
perawatan intensif serta menjadi kajian terbaru dalam peranan nyata dan mandiri
perawat yang mengedepankan pelayanan keperawatan professional. Monitor pola
pernapasan termasuk keluhan sesak napas merupakan tugas perawat dalam rangka
evaluasi pencapaian perbaikan kondisi klien selama perawatan (ignatavicius
& Workman, 2006)
Menurut Westerdahl, et al (2005), bahwa perbaikan
frekuensi dan keteraturan pernapasan merupakan indicator peningkatan fungsi
ventilasi. DBE akan mengurangi reaksi simpatik guna memperbaiki pola pernapasan
dan mengurangi kontraksi otot inspirasi dan ekspirasi (Yadav ,Singh, & Singh,
2009).
DBE sangat efektif untuk memperbaiki pola pernapasan
pada hari ke-4 dan ke-5. Latihan menghirup dan menghembuskan udara secara
perlahan dan dalam yang dilakukan secara terus-menerus merupakan kegiatan yang
terpola antara control di pusat pernapasan dengan kombinasi kemampuan kinerja
otot pernapasan, compliance paru dan struktur rangka dada yang dapat
menghasilkan adaptasi terhadap ritme dan kecepatan pernapasan.
Kelemahan otot pernapasan post ventiasi mekanik
menyebabkan ketidakmampuan melakukan inspirasi secara optimal, sehingga
pemenuhan kebutuhan oksigen menurun. Kesenjangan suplai dan kebutuhan oksigen
dapat diatasi dengan melatih otot inspirator melalui DBE.
Menurut Price dan Wilson (2006), bahwa otot
pernapasan dikendalikan oleh pusat pernapasan sebagai pusat aspek pernapasan
yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata.
Perbaikan yang ditimbulkan karena adanya keterhubungan otot pernapasan dan
desentisasi dispnea.
Menurut Smeltzer, et al. (2008), yang menyatakan
bahwa pola pernapasan tertentu menjadi karakteristik dari keadaan penyakit
spesifik, mengamati dan mendokumentasikan irama pernapasan dan penyimpangan
dari keadaan normal merupakan fungsi keperawatan yang penting.
Ditemukannya perbedaan bermakna pada kapasitas vital
paru pada hari ke-4 dan ke-5 menunjukan bahwa DBE dapat membantu paru melakukan
adaptasi paska ekstubasi. Latihan menghirup dan menghembuaskan udara membantu
mengembangkan lingkar dada dan melatih otot pernapasan sehingga dapat
meningkatkan volume dan kapasitas vital.
Pada kegagalan pernapasan terjadi cedera pada
membrane alveolar paru yang dapat mengakibatkan kebocoran cairan ke dalam
jejaring kapiler hingga mengarah pada ketidakseimbangan ventilasi dan
oksigenasi. Compliance paru menjad sangat menurun sehingga terjadi penurunan
kapasitas paru, hypoxia dan hipokapnia.
Padula dan Yeaw (2006) dan Nusdwinuringtyas (2008)
dalam penelitiannya menjelaskan bahwa melatih otot inspirator dapat membantu
meningkatkan kapasitas vital paru. Latihan pernapasan dapat meningkatkan
kapasitas vital paru melalui pengukuran nilai FEV1 dan FVC. Terlatihnya otot
inspirator akan meningkatkan kemampuan paru untuk menampung udara, sehingga
nilai FEV1 akan mengalami peningkatan.
Mulai 1 jam paska ekstubasi sampai hari ke-5 saturasi
oksigen telah mencapai nilai diatas 97%. Hal tersebut berkenaan syarat klien
dapat dilakukan weaning dan ekstubasi bila SaO2 cukup adekuat lebih
dari 95%. Menurut Guyton dan Hall (2006) dan Price Wilson (2006), yang
menjalaskan bahwa proses transportasi oksigen dan oksigenasi jaringan secara
langsung dipengaruhi oleh system kardiovaskuler dan hematologi yang didukung
status fungsi paru yang memadai.
D.
ANALISIS
Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan
negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen
dalam waktu yang lama. Indikasi klinik penggunaan ventilasi mekanik antara lain
adanya kegagalan ventilasi seperti halnya neuromuscular disease, central
nervous system disease, depresi system saraf pusat, musculosceletal disease dan
ketidakmampuan thoraks untuk ventilasi. Selain itu juga bisa disebabkan karena
kegagalan pertukaran gas seperti halnya gagal nafas akut dan kronik, gagal
jantung kiri, dan gangguan difusi serta ventilasi pada penyakit paru (Lanken, 2007).
Pengertian Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara
melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan napas secara perlahan.
Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Tujuan Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi
napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran
gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress
baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan
menurunkan kecemasan.
Prosedur teknik relaksasi napas dalam menurut Priharjo (2003)
Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi.
Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi.
Adapun
langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai berikut :
1.
Ciptakan lingkungan yang tenang
2.
Usahakan tetap rileks dan tenang
3.
Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan
udara melalui hitungan 1,2,3.
4.
Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil
merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
5.
Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
6.
Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan
melalui mulut secara perlahan-lahan
7.
Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
8.
Usahakan agar tetap konsentrasi atau mata sambil
terpejam
9.
Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri
10.
Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa
berkurang
11.
Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat
setiap 5 kali.
12.
Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernafas
secara dangkal dan cepat.
Manfaat Tehnik
Relaksasi Nafas Dalam
1.
Ketentraman hati
2.
Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah
3.
Tekanan dan ketegangan jiwa menjadi rendah
4.
Detak jantung lebih rendah
5.
Mengurangi tekanan darah
6.
Ketahanan yang lebih besar terhadap penyakit
7.
Tidur lelap
8.
Kesehatan mental menjadi lebih baik
9.
Daya ingat lebih baik
10.
Meningkatkan daya berpikir logis
11.
Meningkatkan kreativitas
12.
Meningkatkan keyakinan
13.
Meningkatkan daya kemauan
14.
Intuisi
15.
Meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain
Otot ispirator yang terlatih akan meningkatkan
compliance paru dan mencegah atelektasis. Westerdahl, et al (2005) menyimpulkan
bahwa latihan pernapasan dapat dengan cepat menurunkan area atelektasis dan
meningkatkan oksigenasi. Compliance dada yang baik memungkinkan ventilasi
oksigenasi adekuat sehingga tidak mudah terjadi atelektasis.
DBE mengurangi reaksi simpatik tetapi tidak mengubah
aktifitas parasimpatik secara signifikan untuk meningkatkan fungsi pernapasan,
mengurangi stress dan kecemasan (yadav, Singh, & Singh (2009)). Control
pernapasan dengan rangsang simpatik dapat memperbaiki ritme dan frekuensi
pernapasan tanpa mengganggu peran parasimpatik yang berguna menjaga
kelangsungan aktifitas pernapasan secara terus-menerus. Sejalan dengan
penelitian Wessterdahl, et al (2005), yang menyebutkan bahwa DBE dapat
meningkatkan fungsi ventilasi dengan perbaikan karakteristik frekuensi dan
keteraturan pernapasan.
Latihan nafas dalam dapat diterapkan dengan memotivasi
pasien untuk latihan napas dimana bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot
pernapasan supaya paru dapat mengembang optimal.
Ketergantungan pasien pada ventilator periode
jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan yang
lebih kompleks dan signifikan. Penggunaan ventilator dalam waktu
yang lama ini bisa memberikan efek negatif antara lain mudah terpapar infeksi
nosokomial terutama infeksi pulmonary, critical illness myopathy, bisa terjadi
trauma airway karena adanya pemakaian trakeostomi dalam waktu yang lama dan
kelemahan otot pernapasan. Ketergantungan ventilator
erat kaitannya dengan kegagalan “weaning process”. Kegagalan “weaning process”
atau penyapihan ventilator sering disebabkan oleh kelemahan otot pernafasan
pada pasien. Kelemahan otot pernapasan pada pasien yang terpasang ventilasi
mekanik dalam waktu yang lama dikarenakan sebagian atau keseluruhan fungsi
pernapasan termasuk otot pernapasan diambil alih oleh mesin ventilator.
Sehingga lama kelamaan otot pernapasan akan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan
jika mendekati proses weaning dimana diawali dengan usaha untuk napas spontan
maka pasien akan menunjukkan keluhan sesak napas karena compliance paru yang
kurang optimal. Kelemahan otot nafas juga disebabkan karena adanya keletihan
otot pernapasan yang terus berlanjut dalam melawan beban akibat mengkompensasi
compliance paru yang tidak optimal tersebut.
Mengoptimalkan
pola napas pasien
Management
yang bisa dilakukan dalam mengoptimalkan pola napas pasien antara lain
mempertahankan posisi head of bed semi fowler 45º, melatih deep breathing
secara bertahap. (Lanken PN,2007)
Membantu pasien untuk “mengontrol” pernapasan jika
diperlukan. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam serta
pantau gerakan diafragma jika alat pacu frenik telah dipasang. Rasionalnya,
bernapas mungkin bukan hanya aktivitas volunter tetapi membutuhkan usaha secara
sadar tergantung pada lokasi trauma/yang berhubungan dengan otot-otot
pernapasan dan stimulasi pada saraf
frenikus meningkatan usaha pernapasan, mengurangi ketergantungan pada
ventilator mekanik. (Doenges,Marilynn E, et al).
Dan menurut Alice C. Geissler bahwa dengan
menginstrusikan dan membantu dalam latihan nafas dalam dan batuk dapat
meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi/oksigenasi.
E.
KESIMPULAN
1.
Kesimpulan Penelitian.
Penelitian ini menemukan pengaruh positif DBE
terhadap fungsi Vo paru hari ke-2,3,4,dan 5. Ada perbedaan yang bermakna pada
fungsi VO paru, pola pernapasan dan kapasitas vital paru pada hari ke-4 dan
ke-5 antara kelompok intervensi dan control tetapi tidak ada perbedaan untuk
saturasi oksigen pada hari-2,3,4,dan 5.
2.
Kesimpulan Teori.
Dari sekian teori seperti dari Lanken, Marilyinn dan
E Doenges, Smeltzer & Bare, 2002, Priharjo (2003), Westerdahl, et al
(2005), yadav, Singh, & Singh (2009) bahwa hasilnya bisa dianggap dapat
memperkuat hasil penelitian ini yang merumuskan bahwa dengan latihan teknik
napas dalam (Deep Breathing Exercise)
mampu secara signifikan meningkatkan fungsi ventilasi oksigenasi pada
pasien paska ventilasi mekanik. Sebagaimana telah dijelaskan secara rinci
diatas tadi bahwa dengan melakukan latihan nafas dalam mampu membantu otot
pernapasan dan stimulasi saraf frenikus untuk meningkatkan usaha napas dan juga
meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi/oksigenasi.
DAFTAR PUSTAKA
Barrington
KJ, Finer NN, Bull D. Randomised controlled trial of nasal synchronized
intermittent mandatory ventilation compared with continuous positive airway
pressure after extubation of very low birth weight infants. Pediatrics
2001;107:638-41.
Brunner, L dan Suddarth, D. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medical Bedah(H.Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan). (Ed.8) Vol
1 Jakarta : EGC.
Caecily Lynn, Buku Saku Keperawatan pediatr, edisi 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E, dkk, 2000,Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman untukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3), Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Lanken
PN. Mechanical ventilation. 2007. In: Lanken PN, ed. The Intensive Care Unit
Manual. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Inc, 13-30.
Leifer, Gloria.
2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders Elsevier
: St. Louis Missouri
Muscari, Mary E, Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik,
edisi 3, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
PK,
Rajiv, CPAP (Continous Positive Airway Pressure) Bedside Application in the
Newborn, 2nd Edition, JAYPEE BROTHERS Medical Publishers (P) Ltd:
Columbia university, USA
Priharjo, R (2003). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas
istirahat. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa
oleh AgungWaluyo...(dkk), EGC, Jakarta.
Westerdahl, E, Linmark, B,Ericksson, T,
Friberg, O,Hedenstierna, G & Tenling, A.2005. Deep breathing exercises
reduce atelectasis and improve
Wong. Donna
L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar